Kamis, 04 Februari 2016

Orde Lama

Orde Lama adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soekarno pada masa pemerintahan Presiden Soeharto (Orde Baru) diIndonesia, Orde Lama berlangsung dari tahun 1945 hingga 1968.
Politik Luar Negeri RI pada Era Orde Lama (Soekarno)
Periode Orde Lama dimulai ketika Presiden Soekarno menyatakan dekrit 1959 yang berisi tentang pemberlakuan kembali UUD 1945 sebagai konstitusi negara dan menghapus UUD RIS. Akan tetapi secara teknis, Presiden Soekarno memimpin era ini semenjak kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Dengan demikian, ulasan mengenai politik luar negeri RI pada era Orde Lama tidak bisa hanya dipantau semenjak tahun 1959 semata, melainkan ditarik semenjak awal kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1945.

Dalam memimpin, Soekarno dipandang sebagai sosok yang sangat kontroversial namun populer. Sejarahnya yang penuh dengan orasi kebangsaan yang mampu membakar semangat segenap pemuda bangsa menunjukkan bahwa ia seorang yang penuh percaya diri dan daya tarik. Di masanya, Soekarno merupakan sosok pemimpin yang penuh inisiatif dan inovatif. Kekayaannya akan ide dan gagasan baru didukung dengan keberanian dalam mengambil keputusan yang saat itu dinilai tidak biasa. Salah satu tindakan Soekarno yang drastis dan populer pasca kemerdekaan ialah nasionalisasi aset- aset negara yang dulu dimiliki Belanda juga Jepang, serta melakukan sosialisasi kedaulatan Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari Sabang sampai Merauke kepada dunia internasional[1]. Hal ini menjadi agenda utama kebijakan luar negeri Soekarno yang dilandasi dengan prinsip- prinsip pancasila sebagai ideologi negara dan amanat UUD 1945 sebagai tolak ukur pembangunan pasca kemerdekaan yang anti terhadap imperialism Barat.
Sikap anti Soekarno terhadap imperialisme Barat semakin kentara pada tindakannya yang menyeru negara- negara di dunia untuk tidak tunduk terhadap blok- blok yang saling berseteru di kala itu sehingga kemudian lahir Gerakan Non-Blok yang diinisiasi dari Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Non Blok di Bandung pada tahun 1955[2]. Indonesia kemudian menjadi inisiator Gerakan Non- Blok yang banyak mendorong kemerdekaan di negara- negara Asia- Afrika pada masa itu. Banyaknya inisiatif yang muncul dari kebijakan luar negeri Indonesia pada masa itu menunjukkan bahwa Soekarno secara serius mengagendakan pengakuan eksistensi Indonesia di mata internasional dan pembentukan aliansi anti kolonialisme serta imperialism Barat dalam setiap kebijakan luar negeri Indonesia. Hal ini selaras dengan prinsip politik luar negeri bebas aktif yang dianut Indonesia. Prinsip ini dicetuskan oleh Muhammad Hatta melalui pidatonya di depan Komite Nasional Indonesia Pusat pada tanggal 2 September 1948 yang berisikan pernyataan bahwa Indonesia tidak boleh memihak baik ke Blok barat maupun Blok Timur dalam politik internasional demi tercapainya cita- cita Indonesia Merdeka. Pidato yang kemudian dikenal dengan judul Mendayung Di Antara Dua Karang ini meskipun esensinya tidak lantas langsung dimasukkan ke dalam konstitusi negara, namun ia kemudian menjadi landasan moral yang membentuk politik luar negeri Indonesia pada masa itu.
Meskipun demikian, sejarah perjuangan Soekarno dalam merebut kemerdekaan Indonesia dari kolonialisme Barat telah membentuk pandangan Soekarno menjadi anti terhadap Barat. Sehingga secara sikap politik pun, Soekarno nampak cenderung pro terhadap ideologi kiri atau timur. Kedekatan ini ditunjukan dengan keberpihakan Soekarno terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) yang kemudian membawa Soekarno terhadap peristiwa pidato penyampaian pidato manifesto politik (manipol) yang mengidentifikasikan imperialis barat sebagai musuh nasional[3]. Hal ini ditunjukkan secara gamblang dalam ketidaksukaan Soekarno terhadap keberadaan Belanda di Irian Barat. Tindakan militer kemudian diambil untuk mengambil alih kembali Irian Barat ketika diplomasi dianggap gagal membuat Belanda angkat kaki dari Irian Barat. Dukungan Amerika Serikat yang kemudian didapatkan Soekarno muncul sebagai akibat konfrontasi kedekatan Jakarta dengan Moskow.
Taktik yang konfrontatif ini kemudian digunakan kembali oleh Soekarno ketika terjadi konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia akibat pembentukan negara federasi Malaysia yang dianggap Indonesia pro terhadap imperialisme Barat. Hal ini dianggap mengancam keberkembangan Nefos (New Emerging Forces) oleh Oldefos (Old Established Forces), yakni dua kategorisasi negara yang dibentuk oleh Soekarno. Berbagai kebijakan luar negeri kemudian muncul dengan landasan kepentingan nasional yang berorientasi pada penguatan eksistensi Indonesia dan Nefos. Salah satu tindakan yang paling terkenal ialah pembentukan poros Jakarta – Peking dimana Indonesia pada saat itu menjadi sangat dekat dengan China. Tidak hanya sampai di situ,Jakarta pada era tersebut digambarkan sebagai pusat pemerintahan yang akrab dengan Moskow, Beijing dan Hanoi serta garang terhadap Washington dan sekutu Barat[4]. Sebagai dampak, ruang gerak Indonesia di forum internasional menjadi terbatas pada seputar negar- negara komunis semata. Hal ini pun mencederai prinsip politik luar negeri Indonesia yang bebas- aktif.
Munculnya kebijakan Dwikora pada 3 Mei 1964 menunjukkan bahwa Soekarno secara serius ingin menyingkirkan Barat dari seputar Indonesia karena dinilai dapat memojokkan Indonesia. Kebijakan Dwikora tersebut berisi tentang perintah untuk memperhebat ketahanan revolusi Indonesia dan untuk membantu perjuangan rakyat Malaysia membebaskan diri dari neokolonialisme Inggris. Hal ini lantas disusul dengan pencetusan Politik Mercusuar yang mendorong Indonesia untuk tampil megah agar terlihat sebagai pemimpin Nefos yang mampu menerangi jalan baru bagi negara- negara Nefos lainnya. Puncak sikap kontra Soekarno terhadap Barat ditunjukkan dengan keluarnya Indonesia dari PBB pada tanggal 7 Januari 1965 sebagai bentuk ketidaksukaan Indonesia terhadap pengangkatan Malaysia yang dinilai pro Barat sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.
Namun sayangnya kebijakan- kebijakan luar negeri yang diinisiasi Soekarno untuk Indonesia rupanya kurang memperhatikan sektor domestic. Di kala Soekarno dengan gencar melancarkan politik luar negeri yang garang, aktif dan militant, kondisi perekonomian dalam negeri tampak morat- marit akibat inflasi yang terjadi secara terus- menerus, penghasilan negara merosot sedangkan pengeluaran untuk proyek- proyek Politik Mercusuar seperti GANEFO (Games of The New Emerging Forces) dan CONEFO ( Conference of The New Emerging Forces) terus membengkak. Belum lagi kecamuk politik dalam negeri yang diwarnai dengan bentrok antara militer dan PKI membuat situasi di Indonesia pada saat itu semakin carut marut. Puncak kecarut- marutan ini ialah terjadinya peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang kemudian membuat kepemimpinan Soekarno di Indonesia melemah dan bahkan terpojok. Tahun 1968 menjadi akhir dari kepemimpinan Presiden Soekarno di Indonesia yang dengan demikian mengakhiri pula era Orde Lama di Indonesia.
Secara umum, kepentingan nasional yang terus menjadi agenda utama Indonesia di era Orde Lama ialah kepentingan untuk menjaga kesatuan dan persatuan NKRI, mempromosikan Indonesia sebagai negara berkekuatan yang baru merdeka, menunjukkan eksistensi Indonesia di dunia internasional dan menunjukkan sikap pro-perdamaian yang anti-kolonialisme Barat. Metode yang ditempuh Soekarno untuk memenuhi kepentingan nasional ini sangat beragam, mulai dari cara negosiasi, pengerahan kekuatan militer, containment, politik berdikari hingga mengundang bantuan asing. Karakter utama yang banyak ditunjukkan politik luar negeri Indonesia pada masa ini ialah karakter high profile yang tegas namun masih belum terarah[5].
Meskipun banyak penyimpangan yang terjadi pada masa ini di mana prinsip moral bebas- aktif politik luar negeri Indonesia justru dilangkahai oleh kedekatan Indonesia terhadap blok Timur, namun tidak dipungkiri banyak keberhasilan yang dicapai pada masa Orde Lama yang hingga kini imbas baiknya masih dapat dirasakan. Sejumlah keberhasilan politik luar negeri pada era Orde Lama antara lain:
1. Indonesia berhasil merebut kembali Irian Barat dari Belanda melalui jalur diplomasi dan militer
2. Indonesia berhasil menginisiasi berdirinya Gerakan Non- Blok melalui KTT Asia- Afrika di Bandung pada tahun 1955
3. Indonesia berhasil menunjukkan eksistensi yang patut diperhitungkan oleh kedua blok raksaksa dunia pada masa itu
Sejumlah halangan yang banyak mengusik keberlangsungan politik luar negeri Indonesia pada era Orde Lama yaitu:
1. Baru terbentuknya NKRI sehingga masih banyak ancaman disintegrasi nasional
2. Instabilitas politik dan perekonomian domestic
3. Situasi Perang Dingin dan terbentuknya dua blok raksaksa dunia yang saling berusaha mendominasi
4. Infrastruktur yang baru dibangun tidak sesuai dengan ambisi Soekarno untuk segera membuat Indonesia menjadi negara adidaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar